Sunday, December 03, 2006

Aa Gym dan Poligami

Banyak komentar menarik seputar menikahnya Aa Gym baru-baru ini, saya mau ikut nimbrung deh.

Tapi, karena saya bukan kyai, bukan ustadz, juga bukan psikolog bahkan sosiolog, maka izinkan saya mengkritisi 2 pandangan tentang peristiwa nikahnya AA Gym dari perspektif orang kebanyakan, orang awam lah.

Bila kita merunut pada sejarah Islam, poligami adalah suatu realitas, dimana Nabi Muhammad SAW pun melakukannya, artinya saya kira beliau pun setuju pada praktek poligami. Suka tidak suka, baik yang pro maupun yang kontra poligami yang berasal dari kalangan Islam harus mengakuinya. Hanya saja, biasanya yang pro dan kontra akan memiliki argumennya sendiri-sendiri untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuaannya.

Jadi, bagi mereka yang berasal dari kalangan umat Islam menurut saya tidak akan tepat bila mengkritisi fenomena poligami dengan alat analisis "nash", untuk melihat apakah poligami itu "Islami" atau tidak.

Saya lebih setuju bila poligami tidak dilihat dari perspektif "agama-ritual-taa'budi" tapi dengan perspektif "sosiologis". Karena mungkin saja poligami bukan perkara ritual, bukan wilayah agama, bukan persoalan religius, atau paling tidak mporsi terbesarnya bukan pada aspek religi. Saya kira persoalan poligami lebih pada persoalan kemanusiaan, hubungan antarmanusia, atau dalam bahasa agama "hablumminnass", dimana mungkin berlaku pameo "antum a' lamu bi umuri dunyakum" -engkau lebih tahu dalam urusan duniamu.

Maka, saya kira menisbatkan poligami dengan argumen "ibadah", "religi", 'ajaran agama", "sunatullah" adalah tidak relevan. Akan lebih fair bila kita meletakan persoalan ini sebagai persoalan "kemanusiaan biasa", dimana siapa pun orangnya, entah Aa Gym, Aa Gatot, Aa Gino bahkan Rasulullah SAW sekalipun akan menghadapi persoalan yang sama, tidak ekslusif.

Rasulullah SAW barangkali punya alasan tersendiri saat menikah, apakah dalam konteks dakwah, atau apa pun itu, wallahu a'lam kita tidak tahu. Tapi setting sejarah beliau, dengan tradisi Arab yang patriarkis tentu akan memberikan alasan tersendiri mengapa poligami menjadi biasa pada masa tersebut.

Tapi selama poligami berarti ketidaksetaraan relasi perempuan-laki2 (menurut Ary Margiono ... apa No tadi ? hubungan asimetris ?) maka fenomenanya tidak beda dengan fenomena hegemoni AS di dunia, dimana nilai-nilai adalah milik yang memiliki power, termasuk bagaimana demokrasi, liberalisasi menjadi "nilai-nilai universal" saya kira sama saja konteksnya. Sang penguasa atau yang berkuasa lah yang menentukan cerita, aturan.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Rasulullah SAW --alhamdulillah berkat beliaulah terjadi transformasi masyarakat Arab, bahkan dunia menjadi lebih baik dari zaman sebelumnya--- mari kita kritisi apakah memang benar poligami adalah esensi dari ajaran agama.
Mari kita pisahkan mana yang hakiki-esensial dari ajaran "Tuhan" dan nilai-nilai yang merupakan produk sejarah, yang memang senantiasa berkembang sesuai dengan gerak pendulum sejarah, dimana yang berkuasalah yang punya kesempatan mengendalikan.

Wallahu 'alam bi showab.

3 comments:

Leny Puspadewi said...

Tp tetep ga jelas nih, Wid. Sebenernya kamu pro apa kontra? (Kasarnya sih, berminat berpoligami ga? :):):))

Leny Puspadewi said...

Ayo...apdet dong...Trus blogwalking sekali2 biar punya banyak temen yg baca dan ngomentari tulisan (pemikiran) kita. Bisa mulai dari link yg aku punya...:)

Widya Setiabudi said...

OK Boss