Tuesday, October 30, 2007

Lebaran dan Peran Asisten Rumah Tangga atau PRT

Habis lebaran, bisanya kita dipusingkan dengan tidak kembalinya para asisten atau PRT atau pengasuh anak di rumah kita. Demikian pula halnya keluarga kami, kedua staff kami --satu bertugas mengurus tetek-bengek rumah dan satu lagi bertugas menjadi teman main anak kami-- tidak kembali setelah mereka mudik lebaran, konon mereka memilih untuk berkarir di Malaysia, seperti rombongan karyawan RT lainnya di kampungnya yang boyongan akan hijrah ke negeri Jiran.

Agak mengherankan memang, ketika ramai berita mengenai nasib WNI diperlakukan tidak adil di malaysia, malah justru mantan karyawan kami beserta temen-temen sekampungnya hijrah ke sana menjadi PRT --juga---. Padahal jangankan selevel PRT, isteri salah seorang staf KBRI atau orang penting Indonesia yang bertugas di KL yang dilengkapi surat-surat resmi saja digaruk dengan "cukup tidak sopan " oleh pasukan "Rela" Malaysia. Lha ini para "indon" baru kok nekat mau pergi ke Malaysia ???

Alasannya jelas, uang. Honor yang kami, atau kebanyakan orang Indonesia berikan kalah jauh dengan gaji yang ditawarkan oleh para majikan di Malaysia. Rekan-rekan saya para pejuang hak-hak PRT sering mengkritik saya --atau lebih tepat menghujat--- tentang betapa dzolimnya saya atau kami dalam merancang "struktur gaji" para PRT. Gaji mereka katanya, masih di bawah UMR... untung saja belum ada cerita Komnas tentang PRT. Tapi apakah benar demikian adanya, bahwa saya khususnya dzolim dalam menangani manajemen kompensasi karyawan saya itu.


Sekedar informasi (FYI), gaji kedua staff saya sebelum lebaran itu sama dengan 1/2 gaji saya sebagai dosen PNS !!!! Mereka juga mendapatkan uang jajan setiap minggunnya 2x, mendapatkan THR, ikut refreshing kalau kami refreshing, jam kerja tidak 24 jam, dan kami sebisa mun gkin membuat mereka nyaman, dengan tidak menyebut mereka "pembantu" dan sebisa mungkin membuat merekla seperti keluarga sendiri atau seperti karyawan pada umumnya. Memang kami tidak intensif mengadakan rapat staff rutin, tapi kami selalu menyediakan waktu untuk dialog apabila ada masalah, baik yang kecil maupun besar.

Lha..... iki piye tooooo? Lha lalu gimana saya menghidupi anak isteri dengan sisa gaji itu ?? korupsi??? Waaah kalaupun ada niat, peluang buat itu sangat kecil terjadi pada diri saya.

Yaa saya cukup beruntung punya penghasilan lain diluar gaji PNS, isteri juga bekerja, jadi cukuplah memenuhi syarat minimal hidup sejahtera dengan 1 anak di Bandung.

Jadi sebenarnya yang mesti dikritik siapa? Apakah saya dzolim apabila gaji staff saya --dengan ijazah SD-- besarnya sama dengan kurang lebih 1/3 gaji saya yang PNS golongan 3B pendidikan S3, dan aktif meneliti dan menulis, he he..he...

Apakah saya juga perlu hijrah ke Malaysia untuk jadi TKI di sana atau jadi dosen di sana ?

Penistaan Agama

Biasanya saya agak malas menonton tv, namun senja itu kota Bandung diguyur hujan lebat, dan saya memarkir kendaraan agak jauh dari sekretariat Lab saya, sehingga resiko basah kuyup apabila saya memaksa menuju tempat parkir kendaraan, payung pun tertinggal di bagasi, sementara pos satpam agak jauh, lagi pula untuk urusan remeh-temeh seperti itu rasanya agak berlebihan bila saya minta dijemput pak satpam, lagian saya bukan pejabat atau kalaupun saat ini saya menduduki jabatan struktural di lembaga tempat saya bekerja, setidaknya saya tidak punya cukup mental untuk seperti pejabat.

Jadi saya nikmati siaran berita di salah satu tv swasta, yang sore itu menayangkan berita tentang deklarasi "agama baru" yaitu Al-Qiyadah Al-Islamiyah oleh Ahmad Mushaddeq yang merupakan "sang nabi" baru yang diutus Tuhan untuk menyempurnakan agama --Islam-- yang dibawa oleh Muhammad SAW. Mushaddeq yang nama aselinya Abdul Salam atau Abu Salam mengaku memiliki 41 ribu murid yang tersebar di sembilan kota di Indonesia. Sebanyak 60 persen adalah mahasiswa dan mayoritas berada di Jakarta yakni 8.972 murid. Mushaddeq mengaku mendapat wahyu sebagai nabi sejak enam tahun lalu di Gunung Bundar, Bogor, Jawa Barat. Pria kelahiran 21 April 1944 ini pernah menjadi pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia dari 1971 hingga 1992.

Masalah Al-Qiyadah ini sebenarnya mirip dengan masalah Ahmadiyah atau Kerajaan Tuhan pimpinan Lia Aminuddin atau Lia Eden. Pro kontra mengenai Al-Qiyadah mengundang berbagai analisis baik dari para ahli agama/ulama, politisi, budayawan-seniman atau bahkan man of the street seperti abang-abang becak yang sering mangkal di sekitar tempat tinggal saya.

Seorang teman saya sesama dosen di jurusan saya menganalisis bahwa fenomena maraknya deklarasi nabi-nabi baru merupakan rekayasa barat/negara-negara adidaya dalam rangka mengobok-obok dunia Islam, baginya paham Pluralisme yang digemborkan lembaga-lembaga internasional merupakan upaya menggembosi Islam, kebetulan deklarasi Al-Qiyadah bersamaan dengan bebasnya Lia Eden dari tahanan setelah menempuh masa tahanan 2 tahun. Baginya, Barat memang benar-benar tidak pernah menginginkan Islam eksis, Islam merupakan ancaman bagi Barat.

Teman saya yang lain melihat bahwa fenomena tersebut sebagai reaksi atas kekecewaan yang mendalam terhadap realitas beragama di Indonesia atau di dunia. Mereka yang baik berijtihad atau mengembangkan "agama baru" kecewa dengan Islam faktual --dalam pengertian Islam dalam praktek sehari-hari bukan Islam yang merujuk pada ajaran normatif yang diajarkan Nabi Muhammad SAW--- yang jauh dari harapan, Islam yang hadir tidak mampu menjawab persoalan riil yang dihadapi mereka. Teman saya yang lainnya mengkrikit pandangan ini karena kesimpulan yang diambilnya amat simplistis, Islam dilihat secara monolitik, padahal kenyataannya sejak dahulu Islam itu beraneka ragam sesuai dengan situasi, setting waktu dan budaya yang berlaku.

Banyak lagi analisis lainnya untuk fenomena ini, tetapi saya tertarik pada kenyataan bahwa "ajaran-ajaran" atau "paham-paham" baru ini punya pengikut yang lumayan jumlahnya, walaupun katakanlah klaim Mushaddeq dianggap hiperbolis berkenaan dengan jumlah dan karakteristik pengikutnya, namun kita harus akui bahwa ada sekelompok orang yang meyakininya. Di Bandung saja, dua orang ibu menangis biru di TV meminta anaknya kembali, setelah ditengarai mengikuti kelompok pengajian tertentu yang serupa dengan ajaran Al-Qiyadah.

Saya menduga, bahwa para tokoh ajaran ini adalah manusia-manusia yang luar biasa, setidaknya ia kharismatis, atau mungkin punya daya linuwih seperti yang konon dimiliki oleh Lia Eden sebagaimana diceritakan Danarto. Kalau kata isteri saya sih, mungkin mereka punya kemampuan hipnotis kayak Rommy Raphael ---ini mungkin karena isteri saya ngefans sama Rommy yang memang ngganteng itu, he he he..----. Tapi setidaknya mereka punya keyakinan dan harapan akan ajaran baru ini. Inilah kelebihan sang imam, ia merupakan panutan, ia mampu menggerakan massa meskipun ia tidak punya embel-embel kuasa politis seperti para politisi dan anggota parlemen.

Mari kita belajar dari mereka tentang bagaimana memberikan keyakinan dan harapan kepada manusia ---seperti juga bagiamana Imam Samudera meyakinkan "para pengantin" meledakkan dirinya dengan bom--- dengan tujuan yang lebih moderat, yakni menciptakan kesejahteraan manusia. Muga-muga saja makin banyak orang yang sejahtera karenanya, amiin.

Reuni dan Keprihatinan Lokal


Saat pulang mudik lebaran beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan bertemu dengan sebagian teman-teman SMA, awalnya sih dari obrolan di milis alumni angkatan kami, yang menanyakan kapan jadwal mudik masing-masing. Kebetulan saya orang yang beruntung beristrikan orang sekampung, jadi saya tidak dipusingkan dengan pengaturan "jatah" lokasi lebaran, paling-paling saya mengatur "jadwal bermalam", apakah di rumah mertua atau di rumah orangtua saya, kebetulan jarak antara rumah orangtua saya dengan rumah mertua hanya 15 menit perjalanan.

Bukan kebetulan bila saya mempunyai isteri orang sekampung, memang sejak dulu sudah menjadi planning saya ingin beristri orang sekampung, saya belajar dari pengalaman saudara-saudara, handai taulan yang memiliki pasangan yang beda kota asal sehingga kerepotan ketika musim mudik lebaran tiba. Yaaa boleh saja sih kalau dibilang itu hanya alasan saya, sebagai "jago kandang", yang hanya mampu menaklukan gadis sekampung. Ha ha.hahhhaaa... boleh saja, sah-sah saja.

Tapi yang menarik dari catatan mudik tahun ini adalah bahwa kampung saya memasuki atmosfir yang lagi trend belakangan ini, karena akan diselenggarakannya Pilkada. Kebetulan juga salah seorang kawan saya yang tinggal di tempat asal saya berkecenderungan atau berkepentingan dengan Pilkada tahun ini. Semangat angkatan atau esprite de corps tentu menjadi pertimbangan saya ketika saya concern dengan keprihatinan teman saya.

Meskipun tidak akan menjadi calon kepala daerah, tetapi teman saya prihatin dengan kecenderungan menguatnya kans dari salah seorang kandidat yang di mata dia, tidak kompeten memimpin kampung kami. Baginya sang kandidat tidak lebih dari orang yang gemar menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya.

Saya dan beberapa teman lain yang berada di perantauan kemudian sepakat untuk menciptakan suatu pemberdayaan kepada warga akampung kami agar tidak keliru memilih calon kepala daerah, saya belum bersikap memihak karena tidak memiliki referensi yang memadai tentang para kandidat, tapi kami sepakat bahwa warga kampung kami berhak mendapatkan pendidikan politik sehingga mereka tidak memilih kandidat yang tidak akan menyuarakan kepentingan orang banyak, terutama warga yang selama ini termarjinalkan.

Sekedar mengingat, betapa ada perbedaan fisik pada diri kami setelah 16 tahun berlalu, saya uploadkan foto terbaru kami.

Tuesday, October 02, 2007

Kuliah International Rezim & Global Governance

Pada tahun ajaran 2007-2008 ini mahasiswa yang mengambil kuliah International Regimes & Global Governance dapat mengakses bahan-bahan kuliah seperti, hand-out kuliah, paper-paper, reading kit dan tugas-tugas pada blog pribadi saya.

Silahkan memberikanb komentar apabila ada yang ingin ditanyakan atau disampaikan, selamat bekerja.

Salam,
widya setiabudi

Laylatul Qadr

Kita mulai memasuki "hari likuran" dalam bulan Ramadhan, artinya sebagian dari kita mulai mempersiapkan diri menjemput "1 malam yang lebih baik daripada 1000 bulan", yang kita kenal sebagai malam laylatul qadr. Pada malam itu hingga fajar menyingsing dikisahkan bahwa seluruh malaikat tumpah ruah turun ke bumi menyebarkan salam dan rahmat kepada hamba-hamba Allah yang sedang beribadah (baik itu ibadah mahdoh maupun ibadah sosial). Pada malam itu, pintu-pintu langit dibuka dan Allah menerima taubat hamba-Nya.

Menurut Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW, amal ibadah (mahdoh) seperti shalat, tilawah al-Qur’an, dan dzikir serta amal sosial (seperti shodaqoh dana zakat), yang dilakukan pada malam itu akan dinilai oleh Allah SWT lebih baik dibandingkan amal serupa selama seribu bulan (tentu di luar malam lailat al qodr sendiri). Dalam riwayat lain Anas bin Malik juga menyampaikan keterangan Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya Allah mengkaruniakan ”Laylatul qadr” untuk umatku, dan tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya.

Sementara berkenaan dengan ayat 4 surat al qodr, Abdullah bin Abbas ra menyampaikan sabda Rasulullah bahwa pada saat terjadinya lailat al qodr, para malaikat turun kebumi menghampiri hamba-hamba Allah yang sedang qiyam al lail, atau melakukan dzikir, para malaikat mengucapkan salam kepada mereka. Pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, dan Allah menerima taubat dari para hambaNya yang bertaubat.

Dalam riwayat Abu Hurairah ra, seperti dilaporkan oleh Bukhori, Muslim dan al Baihaqi, Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan , “barangsiapa melakukan qiyam (shalat malam) pada lailat al qodr, atas dasar iman serta semata-mata mencari keridloan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukannya”.

Demikian banyaknya keutamaan lailat al qodr, sehingga Ibnu Abi Syaibah pernah menyampaikan ungkapan al Hasan al Bashri, katanya : ” Saya tidak pernah tahu adanya hari atau malam yang lebih utama dari malam yang lainnya, kecuali ‘ Lailat al qodr’, karena lailat al qodr lebih utama dari (amalan) seribu bulan”.

Bila kita merujuk pada keterangan-keterangan di atas maka tak heran, sebagian umat Islam berlomba-lomba untuk tiba pada malam istimewa tersebut. Tetapi kita tidak pernah tahu pasti kapan malam Laylatul Qadr itu tiba.Para ulama berbeda pendapat tentang kapan persis terjadinya Lailatul Qodar karena beragamnya informasi hadis Rasulullah serta pemahaman para sahabat. Pendapat pertama menyebutkan Lailatul Qodar mungkin terjadi pada malam ke-27 sebagaimana hadis riwayat Iman Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi. Pendapat kedua menyebut malam 17 Ramadhan, malam diturunkannya Alquran (Nuzulul Quran). Pendapat ketiga menyatakan, Lailatul Qodar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, sebagaimana sabda Rasul, "Carilah Lailatul Qodr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan" (HR. Bukhari, Muslim, dan Baihaqi). Hadis lain menyebutkan malam penuh keberkahan itu terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan atau tanggal 23 Ramadhan. Ada juga hadits yang menyebutkan Lailatul Qodar bisa dicari pada tujuh malam terakhir (HR Bukhari dan Muslim).

Mengingat banyaknya versi mengenai kapan malam laylatul qadr tiba, maka sebagian ulama memberikan pedoman tentang ciri-ciri terjadinya malam tersebut. Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, meriwayatkan, Rasulullah SAW menerangkan, tanda-tanda Lailatul Qodar itu antara lain suasana malam itu terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk, tidak terasa panas, tidak juga dingin. Pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih, terang-benderang, tanpa tertutup awan. Namun demikian, tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailatul Qodar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan batinnya, sehingga benar-benar menikmati kedekatan dengan Allah melalui amal ibadah pada malam itu.

Teknik "perburuan" malam laylatul qadr antara lain dengan melakukan i'tikaf di masjid dalam sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Demi menggapai Lailatul Qodar itu, umat Islam diizinkan untuk hidup seperti pertapa, mengurung diri di dalam masjid, menyibukkan diri dengan sholat, dzikir, doa, mengkaji Alquran dan Sunnah, serta menjauhi segala urusan duniawi.

Pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya, seluruh malam bulan Ramadhan adalah waktu untuk mendapatkan Lailatul Qodar itu. "Perburuan" terhadap malam kemuliaan itu hendaknya dilakukan sejak malam pertama bulan Ramadhan. Tak sehari pun berlalu tanpa amal shalih. Ibarat seorang pesepakbola profesional yang terus berlatih dan bermain, setiap hari, minimal untuk menjaga kondisi tubuh dan teknik memainkan bola, meski tidak ada pertandingan resmi. Atau ibarat sebuah tim sepakbola yang harus melalui babak penyisihan dengan baik. Memandang setiap pertandingan sebagai final. Hanya tim terlatih dan terbaik yang bisa meraih juara.

Dengan demikian, Lailatul Qodar hanya akan ditemui oleh mereka yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailatul Qodar hanya akan diraih oleh orang-orang tertentu yang berakhlak mulia dan memuliakan hari-harinya dengan menjalankan syariat Islam.

Jika kita ditakdirkan Allah menemui Lailatul Qodar, doa pertama yang dipanjatkan adalah "Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf, suka memaanfkan, maka maafkanlah kesalahanku" (Allahumma innaka 'afuwun tuhibul afwa fa'fu 'anni). Itulah yang diajarkan Rasulullah kepada Aisyah ketika ia bertanya: "Wahai Rasulullah, bila aku ketahui kedatangan Lailatul Qodar, apa yang mesti aku ucapkan"? (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Orang yang menemui Lailatul Qodar akan berubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Para malaikat yang menemu jiwanya malam itu, akan tetap hadir memberikan bimbingan dalam mengarungi samudera kehidupan hingga akhir hayatnya.

Dengan hadirnya "semangat kebaikan" yang dibisikkan malaikat itu, bisikan nafsu dan syetan yang hadir dalam jiwa setiap manusia akan terpinggirkan. Ia takkan mampu menembus dinding tebal bisikan kebaikan malaikat. Singkatnya, orang yang jiwanya dikendalikan bisikan malaikat, yang fondasinya tertanam pada malam Lailatul Qodar, jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan.

Pandangan demikian mendapatkan "pembenaran sejarah". Kita tahu, Lailatul Qodar yang ditemui Muhammad SAW pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang kondisi diri sendiri dan masyarakat.

Saat kebeningan hati tercipta, turunlah "Ar-Ruh" (Malaikat Jibril) membawa wahyu, sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup Muhammad SAW dan umatnya.

Memaknai Laylatul Qadr Secara Kritis

Di atas telah dikemukakan pandangan main stream tentang malam laylatul qadr. Saya sendiri bukannya tidak mempercayai mengenai fenomena-fenomena ruhaniah yang bersifat esoteris. Tetapi bilamana kehadiran laylatul qadr dirujuk pada tanda-tanda alam yang demikian menakjubkan maka saya akan merasa kecewa. Sejak kecil saya diajari oleh ayah saya untuk menunggu tibanya malam laylatul qadr pada 10 malam terakhir tersebut, kami berjaga atau beri’tikaf menunggu tibanya malam tersebut. Tapi hingga seusia kini saya nyaris tidak menemukan fenomena alam yang bersifat khusus yang dianggap sebaga ciri kedatangan malam laylatul qadr. Akhirnya saya meyakini bahwa pengalaman ruhaniah bersifat subjektif, maksudnya kita tidak bisa menggeneralisasi laylatul qadr secara sama pada setiap orang.

Untuk memahami tentang laylatul qadr secara substantif, mari kita simak uraian ahli tafsir Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab. Menurut beliau, kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

Pertama, maknanya berarti penetapan dan pengaturan. Sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

Kedua, maknanya berarti kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).

Ketiga, maknanya berarti sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).

Selanjutnya menurut Shihab, ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?

Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.

Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.

Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya.

Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:

"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.[b][i]

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."

Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.

Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fial-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar(Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha.

Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?