Tuesday, November 27, 2007

Persib

Sore ini seperti biasa, saya menunggu senja sebelum beranjak pulang. Di depan beberapa staf kami menyaksikan tayangan pertandingan antara Persib Vs Sriwijaya FC. Jelas saya adalah penikmat sepakbola, baik dalam maupun luar negeri, terlebih Persib. Meskipun prestasi tim kebanggaan masyarakat kota bandung --dulu Jawa Barat-- tak kunjung menggembirakan, tetapi saya masih mengikuti perkembangan tim ini, terlebih karena manajemen Persib menggunakan APBD Pemkot Bandung dalam mendukung kebutuhan finansialnya.

Sudah berapa kali strategi ditempuh, mulai dari mendatangkan pelatih asing, pemain asing, atau pemain lokal berharga mahal, tetapi prestasi menggembirakan tak kunjung tiba. Bahkan sore ini, ketika kemenangan dituntut diraih tim ini, di stadion Siliwangi kandang mereka sendiri, tim ini takluk dari Sriwijaya FC.

Saya kira mengeluarkan biaya besar bersumber dari APBD untuk keperluan tim seperti yang selama ini ditempuh memang tidak signifikan dengan raihan prestasi. Untuk itu lebih baik Persib menggunakan dana non APBD, walaupun kecil tetapi tujuannya untuk pembinaan pemain muda.

Gampangnya begini, akui saja bahwa memang Persib sulit untuk meraih juara, tapi Persib punya kesempatan mengembangkan bakat-bakat muda, untuk berprestasi "lumayan", tetapi tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. Daripada mereka terlibat genk motor, mendingan mereka aktif bersepakbola. Sediakan lapangan-lapangan yang cukup untuk berlatih, buat kompetisi intern yang baik, biarkan hasilnya sesuai dengan kenyataan.

Bravo sepakbola

Sunday, November 25, 2007

Memilih dan Titipan Allah


Hari Sabtu yang baru lalu, saya memeriksakan kandungan isteri saya ke dokter kami di salahsatu RSIA di kawasan Pasteur. karena sudah memasuki bulan ke-5, maka kami akan segera dapat mengetahui prediksi dari jenis kelamin sang calon bayi kami, atau anak kedua kami.

Karena kami sudah memiliki satu jagoan, Haydar ---yang fotonya sering nampang di blog ini-- amat wajar bila kami bermohon untuk mendapatkan bayi perempuan. Namun hasil pengamatan USG menunjukkan bahwa sang adik, ternyata laki-laki. Alhamdulillah, dia kelihatan sehat.

Kecewakah kami ? Subhanallah, amat picik dan kejinya bila kami kecewa atas karunia ini, meskipun tadinya berharap mendapatkan bayi perempuan, kami tetap amat berbahagia, karena setiap anak, apapun jenis kelaminnya adalah manusia yang punya kesempatan menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Hikmahnya, kami bisa berhemat untuk baju bayi, mainan bayi, dan saya menjadi rebutan dua jagoan saya untuk bermain, di sela-sela rutinitas kerja saya, Thank God.

Kita sering mendengar atau berujar bahwa anak-anak ataupun semua yang --seolah-olah-- yang kita miliki, pada dasarnya adalah "hanya" titipan Tuhan. Kita tak berhak merasa memiliki secara mutlak anak-anak kita, sehingga kita berhak menentukan mau seperti apa anak kita sebagaimana keinginan kita.

Mari kita lihat mengapa alasan saya dulu menginginkan anak perempuan, ahhhh ternyata semuanya bermula pada egoisme saya semata, bahkan kehadiran anak-anak pun hanya sekedar memenuhi keinginan dan ego saya, bukan sebagai amanah yang dititipkan Tuhan kepada saya.
Waktu itu saya berpikir, bahwa kalau kita punya anak perempuan maka ---seperti tradisi kita di timur, baca:indonesia atau sunda--- ia akan dekat dengan kita, walaupun mereka kelak berkeluarga. Begini jelasnya, bila hari Lebaran tiba, maka sebuah keluarga berkecenderungan tinggal di keluarga sang isteri ---setidaknya ini tradisi di kami, orang Sunda--- , anak-anak laki akan tinggal lebih lama di rumah mertuanya dibanding rumah bapaak/ibunya. Ha ha.ha ha.. terlalu sederhana ya contoh saya ?!!

Tapi intinya adalah betapa sebenarnya saya lebih mementingkan diri sendiri, egois. Seorang anak lahir semata demi memenuhi keinginan sang oraang tua, apakah alasannya sesederhana seperti alasan saya, atau mungkin demi menjaga warisan kerajaan bisnis keluarga, pokoknya demi "kebahagiaan" orang tua. Lalu dimana letak keinginan dan hak sang anak ?

Bukankah ia adalah semata titipan Tuhan, yang tidak lain jalan kita untuk memperoleh ridla-NYa ? Bukankah mestinya saya menerima kehadiran anak tanpa reserve ?!!

Saya ingin merenungi lagi puisi Gibran berikut:

Dan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dakapan dadanya berkata, Bicaralah pada kami perihal Anak.


Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu
Kerana mereka memiliki fikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Kerana jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan cuba menjadikan mereka sepertimu
Kerana hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

Thursday, November 08, 2007

HaydaR



Sudah, 4 hari ini saya tidur lebih larut, saya harus memenuhi permintaan Haydar menemaninya bermain, setelah seharian saya tidak berada di sisinya. Banyak saja alasannya agar kami tidak segera beranjak ke tempat tidur, mulai mengajak main "mobil-mobilan" lah, maen game lah, makan malam lah, maen perang-perangan lah, pokoknya apapun yang bisa membuat kami berdua bisa lebih lama bermain bersama.



Tidak apa-apa, meski lelah karena pagi2 harus siap2 pergi pelatihan lagi, hingga tgl 14 nanti, tapi saya bahagia.

Saya jadi ingat lagu Iwan fals, "Nak"
Begini cuplikan liriknya,

"Jauh jalan yang harus kau tempuh
Mungkin samar bahkan mungkin gelap
Tajam kerikil setiap saat menunggu
Engkau lewat dengan kaki yang tak bersepatu

Duduk sini Nak dekat pada bapak
Jangan kau ganggu ibumu
Turunlah lekas dari pangkuannya
Engkau lelaki kelak sendiri "

Tantangan buat anak-anak kita "berbeda" dengan zaman kita dulu, perlu ada shifting paradigm atau modifikasi strategi dalam mengasuh anak-anak kita.



Monday, November 05, 2007

Indeks Governance

Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government. Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana menteri, dan menteri[1]. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan, misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet). Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan, bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.

Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif atau kepresidenan (executive heavy)[2]. Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran sektor swasta atau limitation of the state’s roles[3]. Terdapat pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara (civilservice reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment).

Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat[4]. Ketika negara (pemerintah) memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.

Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang tidak lagi bersifat intra bureaucratic anality (perspektif yang melihat aktivitas dan kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi.

Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing (proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas negara atau pemerintah menjadi terabaikan.

Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan itu[5]. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh kebijakan itu. Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society.

Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis governance. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut membangun indikator-indikator governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang mensyaratkan adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law).

Secara khusus, pengukuran Indeks Governance juga pernah dilakukan di Indonesia ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun 2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2) partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan; (5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN; serta (7) kualitas pelayanan publik.

Berbeda dari model-model sebelumnya yang melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah pusat (nasional), GDS melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi. Dengan berpatokan pada perbedaan ruang lingkup ini, maka dalam menyusun Indeks Pemerintahan untuk diterapkan di Provinsi Jawa Barat, indikator/tolok ukur yang disusun harus disesuaikan dengan konteks kewenangan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan agar dalam pengukurannya tidak terjadi bias mengingat ada indikator yang kurang tepat diterapkan di level daerah, seperti indikator kapasitas bank sentral yang hanya dapat diterapkan di level nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Indeks Pemerintahan berbasis governance yang akan diuji terapkan dalam evaluasi tata kelola pemerintahan di Provinsi Jawa Barat tersusun dari indikator-indikator sebagai berikut:

1. Citizen participation (partisipasi warga) à partisipasi warga, dengan tolok ukur:

a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi kualitas tata pemerintahan yang mereka peroleh.

b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

2. Government orientation (orientasi pemerintah) à keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:

a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum

b. Efisiensi birokrasi

c. Tingkat korupsi.

3. Social development (pembangunan sosial) à tolok ukur:

a. Indeks Pembangunan Manusia

b. Distribusi pendapatan

4. Economic management (pengelolaan ekonomi) à kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup kebijakan fiskal; kebijakan moneter; dan kebijakan perdagangan.

Tolok ukur:

a. Tingkat investasi.

b. Kapasitas fiskal daerah.



[1] Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19.

[2] Satish Chandra Mishra. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas. 2000, hal. 3.

[3] Mishra. Loc.Cit.

[4] Baca lebih lanjut dalam Francis Fukuyama. The Great Discruption : Human Nature and the Reconstruction of Social Order. New York : The Free Press. 1999 dan Manuel Castells. The Information Age : Economy, Society and Culture Vo. II Th ePower of Identity. Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd. 1997.

[5] Mas’oed, op.cit., hal. 19.

Hujan

Hari ini saya kembali tertahan untuk segera menemui my son, Haydar. Selain ada pekerjaan yang harus kelar malem ini, hujan menjadi salah satu alasannya. Besok saya harus mengikuti penataran selama seminggu, padahal di kantor besok saya harus membuka pelatihan komputer, dimana saya menjadi ketua pelaksananya.

Kasihan haydar, waktunya bersama bapaknya kembali tersita. Saya berharap dapat membalasnyaa dengan sesuatu yang akan membahagiakannya.

Baik nak, tunggu papa ya.

Friday, November 02, 2007

Linearitas dan Ilmu Sosial

Saya kebetulan mengajar matakuliah Metode Penelitian Sosial, karena kebetulan saya juga mempunyai latar belakang pendidikan formal di bidang science maka topik khusus dalam kuliah tersebut adalah penggunaan pendekatan kuantitatif daalam penelitian ilmu sosial, khususnya Ilmu Politik dan studi Hubungan Internasional.

Perdebatan mengenai penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial sudah amat lama dan cukup lengkap, kita bisa telusuri jejak perdebatan tersebut dalam berbagai literatur baik itu dalam textbooks ataupun di dunia maya. Jadi kalaupun saya membicarakannya di sini tentu hal ini bukanlah hal yang baru, namun saya hanya ingin berbagi bagaimana dampak perdebatan tersebut dalam keseharian saya mengajar matakuliah tersebut dan dalam proses penelitian-penelitian di departemen tempat saya mengajar.

Penggunaan metode kuantitatif dalam proses penelitian (skripsi) di tempat kami sangat jarang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang meneliti. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, pertama karena ada asumsi bahwa dalam penelitian studi Hubungan Internasional adalah mustahil menggunakan metode kuantitatif mengingat paradigma metode kuantitatif yang merujuk pada pendekatan positivisme tidak tepat diterapkan (Kritik terhadap positivisme juga dapat kita telusuri dari berbagai literatur). Jadi, "so what gito loch ??!!", seloroh para mahasiswa saya dan sebagian para kolega kami di jurusan, menyikapi fenomena tersebut.

Kemungkinan kedua adalah ketidakmampuan para mahasiswa, hal ini tidak terlepas dari kemampuan para dosen mentransfer ilmu dan dalam penguasaan metode kuantitatif. Jadi metode penggunaan kuantitatif dihindari karena ketidakmampuan atas penguasaan metode tersebut ketimbang atas alasan filosofis-paradigmatis.

Bila kita merujuk pada kemungkinan yang kedua, artinya kita melihat bahwa penggunaan metode kuantitatif dalam studi Hubungan Internasional adalah memungkinkan, hal ini bertolak belakang dengan pandangan sebelumnya yang mengganggap secara filosofis maupun metodologis pendekatan kuantitatif tidak sesuai bagi riset studi Hubungan Internasional.

Salah satu asumsi yang menjadi topik perdebatan adalah aspek "liniearitas" objek kaji dalam studi Hubungan Internasional. Kita menyadari bahwa sebagian besar fenomena sosial berpilaku nonlinear, sehingga apabila metode-metode kuantitatif hanya menggunakan asumsi linearitas dalam tools metodologinya, maka hasil kajian bisa menjadi bias. Contohnya begini, apakah setiap penambahan jumlah senjata nuklir, akan dapat memprediksikan secara linear kondisi konflik internasional ? Agak sulit memang meyakini asumsi linearitas dalam kasus ini.

Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan metode penelitian kuantitatif kini semakin maju, faktor-faktor nonlinear kini mulai diperhitungkan dalam analisis kuantitatif, sehingga bias yang terjadi menbjadi berkurang ? Kita tidak bisa berharap bahwa tidak ada bias atau error dalam perumusan dan komputasi formal, bahkan bukankah dalam hidup bias senantiasa kita alami ?

Jadi, persoalannya adalah bagaimana pendekatan kuantitatif menjadi semakin lebih maju dan mengurangi bias akibat adanya faktor nonlinear yang ada.

Fariz RM dan Kenangan 80'an


Beberapa waktu yang lalu kita mendapatkan kabar bahwa Fariz RM ditangkap polisi karena kepemilikan ganja, dalam sebuah tayangan infotaintment di TV swasta Fariz tidak mengelak bahwa ganja tersebut memang miliknya atau dengan kata lain ia mengakui kalau dirinya adalah konsumen ganja.

Cerita tentang kebiasaan Fariz mengkonsumsi drugs, memang bukan kabar baru. Pria yang menurut saya adalah "prominent" musik Indonesia era 80'an ini dikabarkan memang pernah --atau mungkin ternyata masih-- mengkonsumsi drugs atau narkotika. Akibat pemakaian drugs yang berlebihan itu pulalah mungkin Fariz divonis menderita kanker liver.

Fariz yang ditahun 80an sangat produktif berkarya kemudian menjadi patah semangat dan menghindari pers. Apalagi, kanker membuat tubuhnya kini tak bisa gemuk lagi seperti dulu. Padahal kita tahu sejak akhir tahun 70an hingga masa jayanya di tahun 80an, Fariz yang ngganteng menjadi idola anak muda pada masanya.Kabar berikutnya dari fariz adalah bahwa penyakitnya itu menjadikan Fariz makin dekat pada Tuhan dan keluarganya. Fariz merasa hidupnya kini juga lebih tenang, ia memilih pasrah pada Tuhan. Umur, menurutnya, sudah diatur Yang Di Atas. Pada istri dan anak-anak, Fariz juga mengajarkan bersikap pasrah. "Enggak ada bedanya orang sakit kanker liver dengan yang enggak. Semua orang enggak tahu bagaimana nasibnya kelak," begitu pesan Fariz.

Penyakit kanker liver seolah mengajak Fariz lebih dekat pada Tuhan. Dia belajar bersyukur pada apa pun yang diberikan Tuhan, karena menurutnya, pasti itu yang terbaik buatnya. Itu sebabnya, "Sudah 3 ­ 5 tahun belakangan saya jarang meminta sama Tuhan. Malu. Tuhan sudah memberikan semuanya pada saya. Karier yang bagus, istri yang cantik, anak-anak yang lucu dan menyayangi saya, teman-teman yang baik," paparnya.

Kalau pun meminta, "Saya minta ditunjukkan, apakah kemampuan saya bisa ditransformasikan ke orang lain. Kalau bisa, tolong tunjukkan caranya," tutur Fariz yang kini berkolaborasi dengan Deddy Dhukun dan H. M. Sofhian Mile, anggota DPR, merilis album bertema persatuan bangsa. Sekarang, Fariz merasa hidupnya jadi lebih tenang. "Enggak gampang emosional, lebih dewasa, berpikir jauh, dan sesedikit mungkin berbuat dosa. Yang penting, bersih hati. Sekarang saya menjalani hidup dengan santai."

Tapi berita tentang penangkapan Fariz kembali menghenyakkan kita, terutama fans Fariz dan selaku anak 80an. Saya, dan terutama banyak fans Fariz yang tidak memiliki kedekatan dengan Fariz mungkin berpikir kalau Fariz sudah terlepas dari Narkoba. Banyak pernyataan beliau yang menyatakan bahwa dia sudah bebas.

Berita penangkapan Fariz jelas memprihatinkan kita semua pencinta karya-karya Fariz, karena kita tahu bahwa dia punya potensi luarbiasa yang jarang dimiliki oleh artis di Indonesia.

Fariz seperti halnya kita semua adalah manusia biasa, yang tak luput dari khilaf dan dosa. Bukan tidak mungkin idola kita yang lain, entah itu Iwan Fals ---kita tahu juga puteranya Galang meninggal di usia muda, yang kabarnya juga terkait masalah narkoba--, KD, SBY, atau jangan jauh-jauh orang-orang dekat kita juga melakukan kehilafan.

Kita harus proporsional mendudukan persoalannya, masalah hukum biarlah diselesaikan secara hukum, tapi sebagai manusia kita simpati atas musibah yang dialami Fariz RM. Semoga masih ada kesempatan buat Fariz untuk berkarya lagi, seperti lirik lagu yang dinyanyikan Kelompok 7 Suara, "Kusadar hidup ini hanya sebentar, untuk apa putus asa.... dst.", Jalan Masih Panjang.

Principal Componen Analysis


Analisis komponen utama adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor ( komponen-komponen utama ) sebagai hasil dari reduksi variabel ke dalam suatu kelompok variabel baru. Dengan demikian, analisis ini dapat menerangkan sebanyak mungkin variansi total dalam data dengan jumlah faktor yang seminimum mungkin. Untuk mentransformasikan variabel awal yang berkorelasi menjadi sekelompok variabel baru yang tidak saling berkorelasi, maka sangat diperlukan mencari hubungan yang terjadi dalam sekelompok variable yang berkorelasi


Analisis komponen utama mengubah kumpulan variabel awal ke dalam kumpulan variabel (komponen ) yang lebih kecil yang merupakan kombinasi linier variabel awal. PC1 ( principal componen 1) menjelaskan variansi data terbanyak, disusul dengan PC2 dan seterusnya sampai PCn sehingga jumlah variansi yang dijelaskan oleh semua PC = 100% (
å PC = 100% ) dan n = jumlah variabel.

Bentuk umum analisis komponen utama

Dalam analisis komponen utama tidak diketemui variabel dependen dan independen. Komponen utama dibentuk dari kombinasi linier vriabel-variabel observasi/pengamatan. Komponen utama pertama ( PC1 ) menerangkan jumlah terbesar dari variansi total data dan merupakan kombinasi linier dari variabel observasi xj dengan j = 1,2,3…,p sebgai berikut:

Koefisien-koefisien w11, w12,…,w1p dipilih sedemikian rupa sehingga memaksimumkan rasio dari variansi PC1 dengan variansi total dengan kendala:

Komponen utam kedua ( PC2) tidak berkorelasi dengan PC1 dan menerangkan jumlah terbesar dari variansi total data sisa yang sebelum diterangkan pada PC1 secara umum, komponen utama ke-m dapat ditulis sebagai berukut:


Senja dan Kenangan akan Sebuah Cerpen



Saya cukup beruntung menempati ruang kantor yang memiliki view yang cukup bagus, kebetulan kantor kami terletak di kawasan Bukit Dago Utara, dan ruangan saya sangat strategis untuk memandangi kemolekan kawasan Dago dan Bandung Utara (KBU) --- yang saytangnya mulai memudar kemolekannya akibat menderunya syahwat pembangunan dan kepentingan komersial.

Tapi saya cukup beruntung masih bisa menikmati sisa-sisa kemolekan kawasan ini, terutama saat senja tiba seperti saat ini. Sambil menunggu azan magrib, semburat warna jingga yang bersahut-sahutan dengan warna pink menghiasi langit sore ini, di kejauhan tampak siluet ranting-ranting pohon sisa musim kemarau tahun ini, ah ternyata masih ada kebahagiaan tersisa diantara belasan keluh kesah dan kekecewaan saya selama seminggu ini.

Saya teringat akan sebuah cerpen yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, yang pertama kali saya baca saat kuliah dulu. Kenangan akan senja yang digambarkan dengan indah --mungkin Seno itu Garin Nugroho-nya di karya sastera-- dalam cerpen itu seolah hadir lagi petang ini dalam gambaran Bandung Utara sore hari.

Senja mulai turun, seiring berakhirnya suara azan di kejauhan. Saya harus segera bergegas, mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, mungkin saya tidak dapat b ebagi kisah "Senja" dari cerpen Seno itu dengan isteri dan anak saya, tapi setidaknya saya bisa berbagi oleh-oleh martabak dan sate padang buat isteri dan anak saya.


Untuk mengetahui cerpen SEno bisa dilihat di link ini: http://sukab.wordpress.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/

Etika Politik: Adakah Itu ?

Beberapa waktu yang lalu kita pernah menyaksikan polemik yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No 37/2006 tentang tunjangan bagi anggota DPRD. Keinginan anggota DPRD untuk menaikan tunjangannya dinilai sebagian kalangan tidak memiliki sense of crisis, sebabnya adalah permintaan itu dituntut ketika perekonomian rakyat terpuruk. Yang agak baru adalah “duel” antara Amin Rais Vs SBY berkaitan dengan kasus dana DKP, akhir kisah “duel” tersebut mirip dengan kisah “duel” antara Yusril Vs Taufik. Ruki dimana masalah menjadi “klaar cukup dengan dilakukan klarifikasi. Yang mungkin akan menjadi berita hangat adalah Pilkada DKI Jakarta yang ditengarai bakal diwarnai politik uang.

Ada sederet kisah lain yang bisa kita rujuk untuk mengantarkan diskusi kita tentang etika politik, namun cukuplah kita ilustrasikan dengan tiga kisah tadi. Dalam kasus ketiga bahasan ini tampak akan lebih menarik untuk dikaji.

Kita telah mengenal ungkapan bahwa “politik itu kotor”, realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Para ahli etika politik nyaris frustasi menyaksikan fakta politik praktis di Indonesia. Haryatmoko (2003), seorang pakar etika mengatakan bahwa etika politik adalah nonsens. Menurutnya, politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk pada apa yang semestinya. Yang ada adalah tujuan menghalalkan segala cara. Mengamati fenomena politik nasional dewasa ini, haryatmoko menilai bahwa kini sulit untuk mencari politikus jujur, santun, dan memiliki integritas moral yang tinggi. Dan hingga kini, hampir tidak pernah muncul politikus yang benar-benar menjalankan praksis etika politik yang mencerminkan negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral.

Sulit memang untuk meyakini bahwa praktek politik dapat bergandengan tangan dengan etika, sebabanya adalah fakta menunjukkan bahwa perilaku elit politik –terutama yang berbasis partai politik--- seringkali jauh dari etika politik. Kita seolah digiring pada tesis klasik EF Schumacher dan Fritjof Capra; bahwa krisis ekonomi, sosial politik, dan lingkungan hidup berakar dari krisis moralitas bangsa itu sendiri. Juga adagium politik melegenda Lord Action, power tend to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.

Apakah Etika Politik itu ?

Mungkin kita perlu menelusuri terlebih dahulu definisi tentang etika politik dan kaitannya dengan politik itu sendiri. Mari kita mulai dengan mencari tahu geneologis tentang politik. Menurut Aristoteles dalam Nichomachean Ethics, politik adalah sesuatu yang indah dan terhormat. Sedangkan menurut Plato dalam bukunya, Republic, politik itu agung dan mulia, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadilan yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Atau, dengan ungkapan lain, politik bagi Plato, adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; dan bagi Aristoteles adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker, 1961).

Sedangkan politikus adalah kumpulan negarawan yang dengan kearifan dan kebijakannya mampu melahirkan gagasan-gagasan luhur yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Dan, bagi politikus, ada tiga tugas yang diembannya. Pertama, sebagai legal drafter, yaitu pembuat undang-undang yang menjamin tegaknya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat. Kedua, sebagai policy maker, yaitu memiliki kesanggupan merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang memihak kepentingan publik. Ketiga, sebagai legislator, yaitu sebagai penyambung lidah rakyat, guna mengartikulasikan aspirasi dan menyuarakan kepentingan konstituennya.

Untuk menunaikan tugas-tugas itu, para politikus dituntut untuk memiliki beberapa kriteria. Pertama, memiliki pengetahuan dan wawasan bernegara yang luas dan mendalam. Kedua, memiliki kearifan dan kebijakan yang melahirkan inspirasi. Ketiga, memiliki kepribadian dan perilaku terpuji yang layak diteladani. Tidak heran, para politisi yang duduk di parlemen lazim disebut "anggota dewan terhormat", sebuah sebutan yang sarat dengan sanjungan yang bernada memuliakan.

Tetapi sayang, dalam kenyataan sehari-hari di panggung politik, hingga kini, praksis politik tidaklah seindah dan terhormat sebagaimana dalam bayangan pemikiran para filosof klasik yang sarat dengan muatan etika politik modern itu.

Etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku jujur, santun, memiliki integritas, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongan. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral.

Persoalan kini adalah apakah para politikus tidak memahami etika politik? Tampaknya, "kebobrokan" perilaku elite politik bukan terletak pada kurangnya pemahaman terhadap etika politik, melainkan karena kemiskinan refleksinya. Etika politik tidak direfleksikan secara jernih lalu dikembangkan untuk kemaslahatan umum, melainkan disempitkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik adalah agung dan mulia dalam nilai-nilai universalitasnya, tetapi disempitkan hanya untuk mendapatkan hasil secara ekonomis.

Tujuan etika politik sesungguhnya adalah mengarah ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Tetapi realitasnya, penyelenggaraan negara direduksi menjadi manajemen kepentingan individu dan kelompok. Politik tidak lagi seperti yang dikatakan Hannah Arendt sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama serta keadilan.

Kasus Calon Independen Vs Parpol Dalam Pilkada DKI Dalam Perspektif Etika Politik

Etika politik menjadi menarik untuk didiskusikan terutama ketika memasuki peristiwa politik semacam Pemilu, baik itu Pemilu presiden, Pilkada atau bahkan pemilihan ketua jurusan di universitas sekalipun. Ketika berkampanye biasanya para kontestan saling mengklaim bahwa dirinya menjalankan politik yang beretika sedangkan lawannya mungkin dituding tidak beretika. Dalam prakteknya memang politik praktis sering dituding sarat dengan tindakan-tindakan tak beretika, itu sebabnya populer pameo, bahwa politik itu kotor. Praktek suap, politik uang, fitnah politik, kekerasan dan premanisme mewarnai paraktek-praktek politik.

Memang bahwa politik praktis identik dengan partai politik, sehingga tak heran apabila dewasa ini muncul wacana calon independen dalam Pilkada sebagai reaksi atas ketidakpercayaan masyarakat akan partai politik. Alasannya antara lain bahwa partai politik tidak menjalankan etika politik, hanya semata mencari kekuasaan. Tetapi apakah lantas dengan meninggalkan partai politik dan mengusung calon independen maka etika politik lebih dapat dijamin ?

Tampaknya debat calon independen versus partai politik dalam kompetisi politik demokratis, baik untuk legislatif maupun eksekutif, perlu ditanggapi dengan sangat hati-hati. Ada enam pertimbangan mengapa sikap kehati-hatian ini perlu diambil.

Pertama, pertimbangan filosofis. Demokrasi tidak berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah malaikat. Demokrasi sesungguhnya bertolak dari asumsi bahwa seluruh manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa calon independen akan membuat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan akan berhenti di negeri ini. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menciptakan mekanisme kelembagaan sehingga kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan itu dapat diminimalkan, misalnya dengan penguatan mekanisme checks and balances.

Kedua, pertimbangan isu amoralitas dalam politik. Adagium bahwa politics is immoral sebaiknya tidak dimaksudkan bahwa individu yang berkecimpung dalam politik tidak bermoral (amoral). Adagium itu lebih dimaksudkan untuk menyatakan bahwa politik tidak bersangkut paut dengan moral (politics has nothing to do with moral). Pengelolaan kekuasaan, apakah yang bekerja dalam kerangka demokratis maupun otoritarian, memiliki karakteristiknya sendiri sehingga tidak bisa diukur dengan standar moral yang berasal dalam kegiatan nonpolitik.

Tidak ada jaminan, misalnya, bahwa individu-individu yang selalu meneriakkan moral, bahkan yang berasal dari lingkungan keagamaan sekalipun, akan membuat kehidupan politik menjadi lebih baik seandainya mereka berkecimpung dalam proses politik. Karena itu, merupakan suatu tindakan spekulatif yang sangat berbahaya jika diasumsikan bahwa calon independen akan memiliki "moral" yang lebih baik daripada calon yang berasal dari partai politik.

Ketiga, pertimbangan demokrasi perwakilan. Adalah benar bahwa pelaksanaan demokrasi dilahirkan melalui faham kedaulatan rakyat (people sovereignity). Juga sukar dibantah bahwa demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui partai politik telah mereduksi makna kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak langsung telah menciptakan situasi di mana rakyat tetap berdaulat tetapi tidak dapat melaksanakan kedaulatannya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty). Namun, jumlah penduduk yang bertambah dan wilayah negara yang luas hampir tidak mungkin lagi dari segi biaya dan efisiensi untuk melaksanakan model demokrasi langsung negara kota. Karena itu, mengutip pendapat Bernard Yack (2003), partai politik dan demokrasi perwakilan merupakan suatu temuan besar umat manusia untuk melestarikan faham kedaulatan rakyat.

Keempat, pertimbangan pelembagaan politik. Demokrasi dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu keajekan (regularity). Manusia datang dan pergi, tetapi institusi idealnya diharapkan terus berlangsung. Peran partai politik untuk melakukan proses institusionalisasi itu tidak dapat diabaikan. Pada sisi lain, gagasan calon independen menyampaikan pesan adanya ketidakpercayaan besar terhadap institusi. Persoalan besar yang kita hadapi saat ini adalah adanya kecenderungan lembaga mewakili individu dan bukan sebaliknya. Defisit ketidakpercayaan (trust deficit) terhadap lembaga seperti ini akan dapat semakin menguat jika kita mendukung gagasan calon independen.

Persoalan ini juga tidak akan dapat diatasi semata-mata dengan menyatakan go to hell with political parties. Apa yang perlu dilakukan kemudian dalam kehidupan bernegara saat ini bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme agar individu dapat menundukkan lembaga, tetapi bagaimana membuat agar seluruh warga tunduk pada mekanisme kelembagaan.

Kelima, pertimbangan pembedaan. Secara teoretis, kehidupan politik demokratis selalu membuat pembedaan antara partai politik dan kelompok kepentingan. Di mana pun partai politik selalu berorientasi untuk memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok kepentingan, seperti kelompok petani, buruh, usahawan, dan industri berorientasi untuk memengaruhi kekuasaan. Pembedaan antara orientasi pemilikan dan pemengaruh ini penting untuk memahami gagasan tentang calon independen dalam perspektif yang lebih tepat.

Adanya kelompok yang menyuarakan perlunya calon independen adalah sesuatu yang wajar. Suara itu dapat disebut sebagai suara kelompok kepentingan. Namun, akan menjadi gagasan yang menggelikan (ridiculous) jika kelompok yang menyuarakan itu juga mencalonkan anggotanya sebagai calon yang disebut independen. Sebaiknya, demi kehidupan transisi demokrasi yang baik, kelompok itu sebaiknya mengubah dirinya menjadi partai politik.

Keenam, pertimbangan bukti empiris. Tidak ada bukti yang sangat memuaskan untuk menyatakan bahwa calon independen tidak memiliki hubungan dengan partai politik. Ketidakhadiran partai politik dalam suatu proses kompetisi politik demokratis tidak lalu berarti bahwa para calon bebas dari pengaruh partai politik. Pengalaman Dewan Perwakilan Daerah (DPD) barangkali menyampaikan pelajaran yang baik. Tidak semua anggota DPD dapat dikatakan bebas sepenuhnya dari afiliasi partai politik.

Calon interdependen

Atas dasar enam pertimbangan ini, gagasan yang harus kita munculkan bukanlah calon independen. Politik itu tidak pernah independen! Apalagi dalam demokrasi. Yang kita gagas sebaiknya calon yang interdependen. Maksudnya, calon itu harus dapat menyatakan secara terang benderang bahwa ia memiliki baku-kait yang kuat baik dengan partai politik, dengan konstiuensi, dengan kelompok kepentingan, dengan bangsanya, dan tentu saja dengan negaranya.

Bagaimana calon seperti itu dapat diperoleh? Salah satu caranya tentu saja adalah dengan tetap menghormati prinsip pers yang bebas dan melembagakan kehidupan partai politik.

Referensi

Hacker, Andrew. 1961. Political Theory: Philosophy, Ideology, Science. New York: Macmillan.

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Review of Bernard Yack's Liberalism without Illusions: Essays on Liberal Theory and the Political Vision of Judith N. Shklar", Ethics, Vol. 107/3, (2003), pp. 513-14