Thursday, June 14, 2007

Desa atau Kelurahan ?

Sudah dua hari ini saya mengunjungi Soreang, ibukota kabupaten Bandung. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan riset kami tentang rencana pemekaran kecamatan Soreang. Berdasarkan berbagai informasi baik itu yang datang dari masyarakat kecamatan Soreang maupun dari pemerintah kabupaten Bandung, kecamatan Soreang memang seharusnya dimekarkan.

Meskipun gagasan itu sudah ada sejak tahun 2001 tetapi kajian akademik dan kebijakan yang mendukungnya baru dilakukan pada tahun 2007 ini. Dalam perspektif penggagasnya kapasitas kecamatan Soreang sudah tidak fisibel lagi untuk memberikan pelayanan publik yang memadai. Padahal pelayanan publik yang excellent merupakan inti dari penyelenggaraan pemerintahan.

Kembali kepada diskusi saya siang tadi, saya tertarik dengan topik perubahan status "desa" menjadi "kelurahan" di wilayah kecamatan yang akan dimekarkan, kita tahu bahwa ibokota kabupaten Bandung terletak di wilayah administratif kecamatan Soreang dan kecamatan Katapang. Biasanya desa-desa yang menjadi ibukota kabupaten, atau ibukota provinsi statusnya adalah kelurahan, tetapi di Soreang tidak demikian.

Perubahan status dari "desa-otonom" menjadi "kelurahan" merupakan dilema bagi aparatur desa. Semula perubahan status itu dibayangkan serta merta diikuti perubahan status aparatur desa menjadi PNS, akan tetapi tentu tidak semudah itu proses pengangkatan seorang PNS. bahkan hingga kini wacana menjadikan para sekretaris desa menjadi PNS juga belum menemukan titik terang.

Selanjutnya, perubahan status tersebut membawa konsekuensi pada beban pencapaian target PBB (Pajak Bumi Bangunan). Dengan status kelurahan tentu NJOP tanah di wilayah itu menjadi tinggi, sehingga nilai pajaknya pun naik. Masalahnya, sebagaimana umumnya yang terjadi di Indonesia, masyarakat keberatan dengan meningkatnya pungutan pajak yang tidak diikuti dengan meningkatnya pelayanan publik, dalam hal ini hubungan pajak dan pelayanan publik tidak signifikan, kalau tidak boleh dikatakan berbanding terbalik. Bagi aparatur kelurahan target pencapaian PBB yang meningkat juga menjadi beban, padahal harapan mereka menjadi PNS pun sulit terpenuhi.

Disamping itu, dengan perubahan status tersebut aset-aset desa (carik desa) akan berpindah kepemilikan menjadi aset pemerintah kabupaten (saat menjadi carik desa, itu menjadi milik rakyat). Tentu dari sisi aset rakyat hal ini merupakan kerugian.

Kondisi yang dilematis itu kemudian membuat desa-desa bertahan dengan statusnya, karena perubahan tersebut juga akan menghapus otonomi desa, dan kepala desa tidak dipilih rakyat melainkan ditunjuk oleh bupati.

Tampaknya diperlukan model tentang status desa-kelurahan pada daerah-daerah dengan karakteristik seperti di kecamatan Soreang. Sayangnya produk hukum berupa PP selalu datang terlambat mengantisipasi dinamaika yang terjadi di masyarakat, sehingga apabila kita bersikap rigid maka solusi yang diharapkan tidak akan didapatkan.

Wallahu 'alam bi showab.

No comments: