Tuesday, October 30, 2007

Penistaan Agama

Biasanya saya agak malas menonton tv, namun senja itu kota Bandung diguyur hujan lebat, dan saya memarkir kendaraan agak jauh dari sekretariat Lab saya, sehingga resiko basah kuyup apabila saya memaksa menuju tempat parkir kendaraan, payung pun tertinggal di bagasi, sementara pos satpam agak jauh, lagi pula untuk urusan remeh-temeh seperti itu rasanya agak berlebihan bila saya minta dijemput pak satpam, lagian saya bukan pejabat atau kalaupun saat ini saya menduduki jabatan struktural di lembaga tempat saya bekerja, setidaknya saya tidak punya cukup mental untuk seperti pejabat.

Jadi saya nikmati siaran berita di salah satu tv swasta, yang sore itu menayangkan berita tentang deklarasi "agama baru" yaitu Al-Qiyadah Al-Islamiyah oleh Ahmad Mushaddeq yang merupakan "sang nabi" baru yang diutus Tuhan untuk menyempurnakan agama --Islam-- yang dibawa oleh Muhammad SAW. Mushaddeq yang nama aselinya Abdul Salam atau Abu Salam mengaku memiliki 41 ribu murid yang tersebar di sembilan kota di Indonesia. Sebanyak 60 persen adalah mahasiswa dan mayoritas berada di Jakarta yakni 8.972 murid. Mushaddeq mengaku mendapat wahyu sebagai nabi sejak enam tahun lalu di Gunung Bundar, Bogor, Jawa Barat. Pria kelahiran 21 April 1944 ini pernah menjadi pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia dari 1971 hingga 1992.

Masalah Al-Qiyadah ini sebenarnya mirip dengan masalah Ahmadiyah atau Kerajaan Tuhan pimpinan Lia Aminuddin atau Lia Eden. Pro kontra mengenai Al-Qiyadah mengundang berbagai analisis baik dari para ahli agama/ulama, politisi, budayawan-seniman atau bahkan man of the street seperti abang-abang becak yang sering mangkal di sekitar tempat tinggal saya.

Seorang teman saya sesama dosen di jurusan saya menganalisis bahwa fenomena maraknya deklarasi nabi-nabi baru merupakan rekayasa barat/negara-negara adidaya dalam rangka mengobok-obok dunia Islam, baginya paham Pluralisme yang digemborkan lembaga-lembaga internasional merupakan upaya menggembosi Islam, kebetulan deklarasi Al-Qiyadah bersamaan dengan bebasnya Lia Eden dari tahanan setelah menempuh masa tahanan 2 tahun. Baginya, Barat memang benar-benar tidak pernah menginginkan Islam eksis, Islam merupakan ancaman bagi Barat.

Teman saya yang lain melihat bahwa fenomena tersebut sebagai reaksi atas kekecewaan yang mendalam terhadap realitas beragama di Indonesia atau di dunia. Mereka yang baik berijtihad atau mengembangkan "agama baru" kecewa dengan Islam faktual --dalam pengertian Islam dalam praktek sehari-hari bukan Islam yang merujuk pada ajaran normatif yang diajarkan Nabi Muhammad SAW--- yang jauh dari harapan, Islam yang hadir tidak mampu menjawab persoalan riil yang dihadapi mereka. Teman saya yang lainnya mengkrikit pandangan ini karena kesimpulan yang diambilnya amat simplistis, Islam dilihat secara monolitik, padahal kenyataannya sejak dahulu Islam itu beraneka ragam sesuai dengan situasi, setting waktu dan budaya yang berlaku.

Banyak lagi analisis lainnya untuk fenomena ini, tetapi saya tertarik pada kenyataan bahwa "ajaran-ajaran" atau "paham-paham" baru ini punya pengikut yang lumayan jumlahnya, walaupun katakanlah klaim Mushaddeq dianggap hiperbolis berkenaan dengan jumlah dan karakteristik pengikutnya, namun kita harus akui bahwa ada sekelompok orang yang meyakininya. Di Bandung saja, dua orang ibu menangis biru di TV meminta anaknya kembali, setelah ditengarai mengikuti kelompok pengajian tertentu yang serupa dengan ajaran Al-Qiyadah.

Saya menduga, bahwa para tokoh ajaran ini adalah manusia-manusia yang luar biasa, setidaknya ia kharismatis, atau mungkin punya daya linuwih seperti yang konon dimiliki oleh Lia Eden sebagaimana diceritakan Danarto. Kalau kata isteri saya sih, mungkin mereka punya kemampuan hipnotis kayak Rommy Raphael ---ini mungkin karena isteri saya ngefans sama Rommy yang memang ngganteng itu, he he he..----. Tapi setidaknya mereka punya keyakinan dan harapan akan ajaran baru ini. Inilah kelebihan sang imam, ia merupakan panutan, ia mampu menggerakan massa meskipun ia tidak punya embel-embel kuasa politis seperti para politisi dan anggota parlemen.

Mari kita belajar dari mereka tentang bagaimana memberikan keyakinan dan harapan kepada manusia ---seperti juga bagiamana Imam Samudera meyakinkan "para pengantin" meledakkan dirinya dengan bom--- dengan tujuan yang lebih moderat, yakni menciptakan kesejahteraan manusia. Muga-muga saja makin banyak orang yang sejahtera karenanya, amiin.

No comments: