Friday, November 02, 2007

Etika Politik: Adakah Itu ?

Beberapa waktu yang lalu kita pernah menyaksikan polemik yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No 37/2006 tentang tunjangan bagi anggota DPRD. Keinginan anggota DPRD untuk menaikan tunjangannya dinilai sebagian kalangan tidak memiliki sense of crisis, sebabnya adalah permintaan itu dituntut ketika perekonomian rakyat terpuruk. Yang agak baru adalah “duel” antara Amin Rais Vs SBY berkaitan dengan kasus dana DKP, akhir kisah “duel” tersebut mirip dengan kisah “duel” antara Yusril Vs Taufik. Ruki dimana masalah menjadi “klaar cukup dengan dilakukan klarifikasi. Yang mungkin akan menjadi berita hangat adalah Pilkada DKI Jakarta yang ditengarai bakal diwarnai politik uang.

Ada sederet kisah lain yang bisa kita rujuk untuk mengantarkan diskusi kita tentang etika politik, namun cukuplah kita ilustrasikan dengan tiga kisah tadi. Dalam kasus ketiga bahasan ini tampak akan lebih menarik untuk dikaji.

Kita telah mengenal ungkapan bahwa “politik itu kotor”, realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Para ahli etika politik nyaris frustasi menyaksikan fakta politik praktis di Indonesia. Haryatmoko (2003), seorang pakar etika mengatakan bahwa etika politik adalah nonsens. Menurutnya, politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk pada apa yang semestinya. Yang ada adalah tujuan menghalalkan segala cara. Mengamati fenomena politik nasional dewasa ini, haryatmoko menilai bahwa kini sulit untuk mencari politikus jujur, santun, dan memiliki integritas moral yang tinggi. Dan hingga kini, hampir tidak pernah muncul politikus yang benar-benar menjalankan praksis etika politik yang mencerminkan negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral.

Sulit memang untuk meyakini bahwa praktek politik dapat bergandengan tangan dengan etika, sebabanya adalah fakta menunjukkan bahwa perilaku elit politik –terutama yang berbasis partai politik--- seringkali jauh dari etika politik. Kita seolah digiring pada tesis klasik EF Schumacher dan Fritjof Capra; bahwa krisis ekonomi, sosial politik, dan lingkungan hidup berakar dari krisis moralitas bangsa itu sendiri. Juga adagium politik melegenda Lord Action, power tend to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.

Apakah Etika Politik itu ?

Mungkin kita perlu menelusuri terlebih dahulu definisi tentang etika politik dan kaitannya dengan politik itu sendiri. Mari kita mulai dengan mencari tahu geneologis tentang politik. Menurut Aristoteles dalam Nichomachean Ethics, politik adalah sesuatu yang indah dan terhormat. Sedangkan menurut Plato dalam bukunya, Republic, politik itu agung dan mulia, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadilan yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Atau, dengan ungkapan lain, politik bagi Plato, adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; dan bagi Aristoteles adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker, 1961).

Sedangkan politikus adalah kumpulan negarawan yang dengan kearifan dan kebijakannya mampu melahirkan gagasan-gagasan luhur yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Dan, bagi politikus, ada tiga tugas yang diembannya. Pertama, sebagai legal drafter, yaitu pembuat undang-undang yang menjamin tegaknya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat. Kedua, sebagai policy maker, yaitu memiliki kesanggupan merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang memihak kepentingan publik. Ketiga, sebagai legislator, yaitu sebagai penyambung lidah rakyat, guna mengartikulasikan aspirasi dan menyuarakan kepentingan konstituennya.

Untuk menunaikan tugas-tugas itu, para politikus dituntut untuk memiliki beberapa kriteria. Pertama, memiliki pengetahuan dan wawasan bernegara yang luas dan mendalam. Kedua, memiliki kearifan dan kebijakan yang melahirkan inspirasi. Ketiga, memiliki kepribadian dan perilaku terpuji yang layak diteladani. Tidak heran, para politisi yang duduk di parlemen lazim disebut "anggota dewan terhormat", sebuah sebutan yang sarat dengan sanjungan yang bernada memuliakan.

Tetapi sayang, dalam kenyataan sehari-hari di panggung politik, hingga kini, praksis politik tidaklah seindah dan terhormat sebagaimana dalam bayangan pemikiran para filosof klasik yang sarat dengan muatan etika politik modern itu.

Etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku jujur, santun, memiliki integritas, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongan. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral.

Persoalan kini adalah apakah para politikus tidak memahami etika politik? Tampaknya, "kebobrokan" perilaku elite politik bukan terletak pada kurangnya pemahaman terhadap etika politik, melainkan karena kemiskinan refleksinya. Etika politik tidak direfleksikan secara jernih lalu dikembangkan untuk kemaslahatan umum, melainkan disempitkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik adalah agung dan mulia dalam nilai-nilai universalitasnya, tetapi disempitkan hanya untuk mendapatkan hasil secara ekonomis.

Tujuan etika politik sesungguhnya adalah mengarah ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Tetapi realitasnya, penyelenggaraan negara direduksi menjadi manajemen kepentingan individu dan kelompok. Politik tidak lagi seperti yang dikatakan Hannah Arendt sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama serta keadilan.

Kasus Calon Independen Vs Parpol Dalam Pilkada DKI Dalam Perspektif Etika Politik

Etika politik menjadi menarik untuk didiskusikan terutama ketika memasuki peristiwa politik semacam Pemilu, baik itu Pemilu presiden, Pilkada atau bahkan pemilihan ketua jurusan di universitas sekalipun. Ketika berkampanye biasanya para kontestan saling mengklaim bahwa dirinya menjalankan politik yang beretika sedangkan lawannya mungkin dituding tidak beretika. Dalam prakteknya memang politik praktis sering dituding sarat dengan tindakan-tindakan tak beretika, itu sebabnya populer pameo, bahwa politik itu kotor. Praktek suap, politik uang, fitnah politik, kekerasan dan premanisme mewarnai paraktek-praktek politik.

Memang bahwa politik praktis identik dengan partai politik, sehingga tak heran apabila dewasa ini muncul wacana calon independen dalam Pilkada sebagai reaksi atas ketidakpercayaan masyarakat akan partai politik. Alasannya antara lain bahwa partai politik tidak menjalankan etika politik, hanya semata mencari kekuasaan. Tetapi apakah lantas dengan meninggalkan partai politik dan mengusung calon independen maka etika politik lebih dapat dijamin ?

Tampaknya debat calon independen versus partai politik dalam kompetisi politik demokratis, baik untuk legislatif maupun eksekutif, perlu ditanggapi dengan sangat hati-hati. Ada enam pertimbangan mengapa sikap kehati-hatian ini perlu diambil.

Pertama, pertimbangan filosofis. Demokrasi tidak berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah malaikat. Demokrasi sesungguhnya bertolak dari asumsi bahwa seluruh manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa calon independen akan membuat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan akan berhenti di negeri ini. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menciptakan mekanisme kelembagaan sehingga kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan itu dapat diminimalkan, misalnya dengan penguatan mekanisme checks and balances.

Kedua, pertimbangan isu amoralitas dalam politik. Adagium bahwa politics is immoral sebaiknya tidak dimaksudkan bahwa individu yang berkecimpung dalam politik tidak bermoral (amoral). Adagium itu lebih dimaksudkan untuk menyatakan bahwa politik tidak bersangkut paut dengan moral (politics has nothing to do with moral). Pengelolaan kekuasaan, apakah yang bekerja dalam kerangka demokratis maupun otoritarian, memiliki karakteristiknya sendiri sehingga tidak bisa diukur dengan standar moral yang berasal dalam kegiatan nonpolitik.

Tidak ada jaminan, misalnya, bahwa individu-individu yang selalu meneriakkan moral, bahkan yang berasal dari lingkungan keagamaan sekalipun, akan membuat kehidupan politik menjadi lebih baik seandainya mereka berkecimpung dalam proses politik. Karena itu, merupakan suatu tindakan spekulatif yang sangat berbahaya jika diasumsikan bahwa calon independen akan memiliki "moral" yang lebih baik daripada calon yang berasal dari partai politik.

Ketiga, pertimbangan demokrasi perwakilan. Adalah benar bahwa pelaksanaan demokrasi dilahirkan melalui faham kedaulatan rakyat (people sovereignity). Juga sukar dibantah bahwa demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui partai politik telah mereduksi makna kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak langsung telah menciptakan situasi di mana rakyat tetap berdaulat tetapi tidak dapat melaksanakan kedaulatannya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty). Namun, jumlah penduduk yang bertambah dan wilayah negara yang luas hampir tidak mungkin lagi dari segi biaya dan efisiensi untuk melaksanakan model demokrasi langsung negara kota. Karena itu, mengutip pendapat Bernard Yack (2003), partai politik dan demokrasi perwakilan merupakan suatu temuan besar umat manusia untuk melestarikan faham kedaulatan rakyat.

Keempat, pertimbangan pelembagaan politik. Demokrasi dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu keajekan (regularity). Manusia datang dan pergi, tetapi institusi idealnya diharapkan terus berlangsung. Peran partai politik untuk melakukan proses institusionalisasi itu tidak dapat diabaikan. Pada sisi lain, gagasan calon independen menyampaikan pesan adanya ketidakpercayaan besar terhadap institusi. Persoalan besar yang kita hadapi saat ini adalah adanya kecenderungan lembaga mewakili individu dan bukan sebaliknya. Defisit ketidakpercayaan (trust deficit) terhadap lembaga seperti ini akan dapat semakin menguat jika kita mendukung gagasan calon independen.

Persoalan ini juga tidak akan dapat diatasi semata-mata dengan menyatakan go to hell with political parties. Apa yang perlu dilakukan kemudian dalam kehidupan bernegara saat ini bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme agar individu dapat menundukkan lembaga, tetapi bagaimana membuat agar seluruh warga tunduk pada mekanisme kelembagaan.

Kelima, pertimbangan pembedaan. Secara teoretis, kehidupan politik demokratis selalu membuat pembedaan antara partai politik dan kelompok kepentingan. Di mana pun partai politik selalu berorientasi untuk memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok kepentingan, seperti kelompok petani, buruh, usahawan, dan industri berorientasi untuk memengaruhi kekuasaan. Pembedaan antara orientasi pemilikan dan pemengaruh ini penting untuk memahami gagasan tentang calon independen dalam perspektif yang lebih tepat.

Adanya kelompok yang menyuarakan perlunya calon independen adalah sesuatu yang wajar. Suara itu dapat disebut sebagai suara kelompok kepentingan. Namun, akan menjadi gagasan yang menggelikan (ridiculous) jika kelompok yang menyuarakan itu juga mencalonkan anggotanya sebagai calon yang disebut independen. Sebaiknya, demi kehidupan transisi demokrasi yang baik, kelompok itu sebaiknya mengubah dirinya menjadi partai politik.

Keenam, pertimbangan bukti empiris. Tidak ada bukti yang sangat memuaskan untuk menyatakan bahwa calon independen tidak memiliki hubungan dengan partai politik. Ketidakhadiran partai politik dalam suatu proses kompetisi politik demokratis tidak lalu berarti bahwa para calon bebas dari pengaruh partai politik. Pengalaman Dewan Perwakilan Daerah (DPD) barangkali menyampaikan pelajaran yang baik. Tidak semua anggota DPD dapat dikatakan bebas sepenuhnya dari afiliasi partai politik.

Calon interdependen

Atas dasar enam pertimbangan ini, gagasan yang harus kita munculkan bukanlah calon independen. Politik itu tidak pernah independen! Apalagi dalam demokrasi. Yang kita gagas sebaiknya calon yang interdependen. Maksudnya, calon itu harus dapat menyatakan secara terang benderang bahwa ia memiliki baku-kait yang kuat baik dengan partai politik, dengan konstiuensi, dengan kelompok kepentingan, dengan bangsanya, dan tentu saja dengan negaranya.

Bagaimana calon seperti itu dapat diperoleh? Salah satu caranya tentu saja adalah dengan tetap menghormati prinsip pers yang bebas dan melembagakan kehidupan partai politik.

Referensi

Hacker, Andrew. 1961. Political Theory: Philosophy, Ideology, Science. New York: Macmillan.

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Review of Bernard Yack's Liberalism without Illusions: Essays on Liberal Theory and the Political Vision of Judith N. Shklar", Ethics, Vol. 107/3, (2003), pp. 513-14

No comments: