Monday, November 05, 2007

Indeks Governance

Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government. Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana menteri, dan menteri[1]. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan, misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet). Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan, bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.

Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif atau kepresidenan (executive heavy)[2]. Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran sektor swasta atau limitation of the state’s roles[3]. Terdapat pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara (civilservice reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment).

Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat[4]. Ketika negara (pemerintah) memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.

Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang tidak lagi bersifat intra bureaucratic anality (perspektif yang melihat aktivitas dan kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi.

Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing (proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas negara atau pemerintah menjadi terabaikan.

Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan itu[5]. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh kebijakan itu. Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society.

Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis governance. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut membangun indikator-indikator governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang mensyaratkan adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law).

Secara khusus, pengukuran Indeks Governance juga pernah dilakukan di Indonesia ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun 2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2) partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan; (5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN; serta (7) kualitas pelayanan publik.

Berbeda dari model-model sebelumnya yang melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah pusat (nasional), GDS melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi. Dengan berpatokan pada perbedaan ruang lingkup ini, maka dalam menyusun Indeks Pemerintahan untuk diterapkan di Provinsi Jawa Barat, indikator/tolok ukur yang disusun harus disesuaikan dengan konteks kewenangan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan agar dalam pengukurannya tidak terjadi bias mengingat ada indikator yang kurang tepat diterapkan di level daerah, seperti indikator kapasitas bank sentral yang hanya dapat diterapkan di level nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Indeks Pemerintahan berbasis governance yang akan diuji terapkan dalam evaluasi tata kelola pemerintahan di Provinsi Jawa Barat tersusun dari indikator-indikator sebagai berikut:

1. Citizen participation (partisipasi warga) à partisipasi warga, dengan tolok ukur:

a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi kualitas tata pemerintahan yang mereka peroleh.

b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

2. Government orientation (orientasi pemerintah) à keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:

a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum

b. Efisiensi birokrasi

c. Tingkat korupsi.

3. Social development (pembangunan sosial) à tolok ukur:

a. Indeks Pembangunan Manusia

b. Distribusi pendapatan

4. Economic management (pengelolaan ekonomi) à kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup kebijakan fiskal; kebijakan moneter; dan kebijakan perdagangan.

Tolok ukur:

a. Tingkat investasi.

b. Kapasitas fiskal daerah.



[1] Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19.

[2] Satish Chandra Mishra. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas. 2000, hal. 3.

[3] Mishra. Loc.Cit.

[4] Baca lebih lanjut dalam Francis Fukuyama. The Great Discruption : Human Nature and the Reconstruction of Social Order. New York : The Free Press. 1999 dan Manuel Castells. The Information Age : Economy, Society and Culture Vo. II Th ePower of Identity. Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd. 1997.

[5] Mas’oed, op.cit., hal. 19.

No comments: